PENTINGNYA PERAN HAK ASASI BAGI
SETIAP WARGA NEGARA INDONESIA
Hak asasi manusia adalah hak dasar
yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan
sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada
hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini
dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia manusia, bukan karena pemberian
masyarakat atau pemberian negara.
Maka hak asasi
manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau
Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.
Sebagai
manusia, ia makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi. Hak asasi
manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat
universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat
diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri
dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul
atau berhubungan dengan sesama manusia.
Pada setiap hak
melekat kewajiban. Karena itu,selain ada hak asasi manusia, ada juga kewajiban
asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau
tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita
wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga
dimiliki oleh orang lain.
Kesadaran akan
hak asasi manusia , harga diri , harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali
sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan
yang sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang
melekat pada diri manusia. Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar di dunia
ini sebagai suatu usaha untuk menegakkan hak asasi manusia.
Menurut
Jack Donnely, hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusiasemata-mata
karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya
oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata
berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
Sementara
Meriam Budiardjo, berpendapat bahwa hak asasi manusia adalah hak yang
dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan
kelahirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu
dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, kelamin dan karena
itu bersifat universal.
Dasar
dari semua hak asasi ialah bahwa manusia memperoleh kesempatan berkembang
sesuai dengan harkat dan cita-citanya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh
Slamet Marta Wardaya yang menyatakan bahwa hak asasi manusia yang dipahami
sebagai natural rights merupakan suatu kebutuhan dari realitas sosial yang
bersifat universal.
Nilai
universal ini yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk hukum nasional
di berbagai negara untuk dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai
kemanusian. Bahkan nilai universal ini dikukuhkan dalam intrumen internasional,
termasuk perjanjian internasional di bidang HAM.
Sementara
dalam ketentuan menimbang huruf b Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia menegaskan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara
kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena
itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi atau dirampas oleh siapapun.
Mengenai
perkembangan pemikiran hak asasi manusia, Ahli hukum Perancis, Karel Vasak
mengemukakan perjalanan hak asasi manusia dengan mengklasifikasikan hak asasi
manusia atas tiga generasi yang terinspirasi oleh tiga tema Revolusi Perancis,
yaitu : Generasi Pertama; Hak Sipil dan Politik (Liberte); Generasi Kedua, Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya (Egalite) dan Generasi Ketiga, Hak Solidaritas
(Fraternite).
Tiga
generasi ini perlu dipahami sebagai satu kesatuan, saling berkaitan dan saling
melengkapi. Vasak menggunakan istilah “generasi” untuk menunjuk pada substansi
dan ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun waktu tertentu.
Ketiga generasi hak asasi manusia tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Ketiga generasi hak asasi manusia tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Hak asasi manusia generasi pertama, yang mencakup soal prinsip integritas
manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.
Termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup, hak kebebasan bergerak,
perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan,
kebebasan berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan
penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari hukum yang berlaku surut dsb.
Hak-hak
generasi pertama ini sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif” karena
negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan
mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut.
2.
Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia
Generasi Kedua, konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin
pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan,
termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk
menikmati ragam penemuan penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya.
Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan
ditandatanganinya ‘International Couvenant on Economic, Social and Cultural
Rights’ pada tahun 1966. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak atas
pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan,
hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak
atas lingkungan yang sehat dsb.
Dalam
pemenuhan hak-hak generasi kedua ini negara dituntut bertindak lebih aktif
(positif), sehingga hak-hak generasi kedua ini disebut juga sebagai “hak-hak
positif”.
3.
Hak-hak generasi ketiga diwakili oleh tuntutan atas “hak solidaritas”” atau
“hak bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara berkembang
atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil.
Melalui
tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan
terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi
terjaminnya hak-hak berikut: (i) hak atas pembangunan; (ii) hak atas
perdamaian; (iii) hak atas sumber daya alam sendiri; (iv) hak atas lingkungan
hidup yang baik dan (v) dan hak atas warisan budaya sendiri.
UU
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) memuat prinsip bahwa hak
asasi manusia harus dilihat secara holistik bukan parsial sebab HAM adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara hukun, Pemerintahan, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Oleh
sebab itu perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia di bidang sosial politik
hanya dapat berjalan dengan baik apabila hak yang lain di bidang ekonomi,
sosial dan budaya serta hak solidaritas juga juga dilindungi dan dipenuhi, dan
begitu pula sebaliknya.
Dengan
diratifikasinya konvenan Hak EKOSOB oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2005, kewajiban Indonesia untuk melakukan pemenuhan dan
jaminan-jaminan ekonomi, sosial dan budaya harus diwujudkan baik melalui aturan
hukum ataupun melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.
Pentingnya
Supremasi Hukum Dalam Rangka Peningkatan Perlindungan HAM
Perlu
dicatat, bahwa dari segi hukum, dalam sepuluh tahun terakhir ini ada sejumlah
kemajuan penting mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi HAM. Seperti
diketahui, ada sejumlah produk hukum yang penting tentang HAM. Mulai dari
dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/1998, amandemen UUD 1945 yang secara eksplisit
sudah memasukkan pasal-pasal cukup mendasar mengenai hak- hak asasi manusia, UU
No.39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, dan UU No.26/2000 tentang Pengadilan
HAM.
Dalam
tataran hukum normatif, dengan amandemen, UUD 1945 sebenarnya sudah dapat
dijadikan sebagai dasar untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan
HAM.
Tetapi
dengan adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM, secara institusional
maupun hukum materil (hukum positif), menjadikan perangkat organik untuk
menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya penegakan
supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM menjadi kuat.
Adanya
Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM patut dicatat sebagai perangkat
kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dengan
peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung dengan upaya penegakan
hukum.
Pada
tataran implementasi, memang masih banyak kelemahan dari kedua lembaga
tersebut, akan tetapi dengan adannya Komnas HAM dan peradilan HAM dengan
sendirinya upaya-upaya peningkatan penghormatan dan perlindungan HAM ini
memiliki dua pijakan penting, yaitu pijakan normatif berupa konstitusi dengan
UU organiknya serta Komnas HAM dan peradilan HAM yang memungkinkan berbagai
pelanggaran HAM dapat diproses sampai di pengadilan.
Dengan
demikian, maka perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi hukum
karena telah memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional dengan
dibentuknya kelembagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum. Namun demikian
tidak berarti bahwa perjuangan HAM sebagaimana dilakukan oleh lembaga-lembaga
di luar negeri tidak penting.
Peran masyarakat tetap penting, karena
institusi Negara biasanya memiliki kepentingannya sendiri. Lebih-lebih bila
dilihat dari logika penegakan HAM, dengan kekuasaan yang dimilikinya Negara,
lebih khusus aparat pemerintah terutama yang berurusan dengan keamanan dan
pertahanan, termasuk yang paling potensial melakukan pelanggaran HAM.
Tetapi
sebaliknya Negara termasuk aparat kekuasaannya (Polisi dan Tentara)
berkewajiban, bukan hanya melindungi, menghormati dan memberi jaminan atas HAM
akan tetapi bila dilihat dari penegakan supremasi hukum maka pemerintah
dituntut untuk semakin menyempurnakan dan membenahi perangkat hukum dan
perundang-undangan yang kondusif bagi penegakan HAM.
Untuk
mewujudkan hal ini, mau tidak mau diperlukan suatu grand agenda yang perlu
dilakukan, yaitu :
1).
Terus menyempurnakan Produk-produk hukum, perundang-undangan tentang HAM.
Produk hukum tersebut perlu disesuaikan dengan semangat konstitusi yang secara
eksplisit sudah memberi dasar bagi perlindunan dan jaminan atau HAM.
Termasuk disesuaikan dengan
ketentuan-ketentuan dalam konvensi/kovenan internasional tentang HAM, baik dari
segi materi tentang HAM-nya itu sendiri maupun tentang kelembagaan Komnas HAM
dan peradilan HAM.
2)
Melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum, KUHP
dan KUHAP, yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal
dalam berbagai UU yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan HAM. Termasuk
beberapa UU yang dihasilkan dalam sepuluh tahun terakhir ini. Hal ini sebagai
konsekuensi dari watak rejim sebelumnya yang memang anti- HAM, sehingga dengan
sendirinya produk UU-nya pun kurang atau sama sekali tidak mempertimbangan
masalah HAM.
Dalam konteks ini, maka agenda ini sejalan dan
dapat disatukan dengan agenda reformasi hukum nasional dan ratifikasi
konvensi/kovenan, internasional tentang HAM yang paling mendasar seperti
kovenan sipil-politik dan kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya berikut
protocol operasionalnya. Dari segi ukuran maupun substansi serta
permasalahannya hal ini merupakan agenda raksasa.
Untuk
itu pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan masyarakat
yang memiliki perhatian yang sama seperti kalangan LSM bidang hukum. Dan untuk
itu pula perlu dibuat skala prioritas supaya perencanaannya realistis dan pelaksanaannya
dilakukan bertahap.
3)
Mengembangkan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan dan
instansi lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan perlindungan
HAM. Penulis tidak ingin ikut membicarakan persoalan memburuknya kondisi system
peradilan kita, akan tetapi yang perlu diprioritaskan dalam pengembangan
kelembagaan ini adalah meningkatkan kapasitas hakim, jaksa, polisi, panitera
dan unsur-unsur pendukungnya dalam memahami dan menangani perkara-perkara hukum
yang berkaitan dengan HAM.
Termasuk di dalamnya mengenai administrasi dan
pelaksanaan penanganan perkara-perkara hukum mengenai pelanggaran HAM. Ini
harus disadari betul mengingat masalah HAM baru masuk secara resmi dalam
beberapa tahun terakhir ini saja dalam sistem peradilan kita. Bahkan, perlu
diakui secara jujur masih banyak, kalau tidak mau dikatakan pada umumnya,
aparat penegak hukum kita yang tidak memahami persoalan HAM.
Lebih-lebih
untuk menangani perkara hukum di peradilan yang pembuktiannya amat pelik dan
harus memenuhi standar Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institutional capacity
building di instansi-instansi Negara yang terkait dengan masalah HAM ini menjadi
amat penting dan mendesak.
4)
Pentingnya sosialisasi dan pemahaman tentang HAM itu sendiri, khususnya di
kalangan pemerintahan, utamanya di kalangan instansi yang secara langsung
maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah HAM.
Sosialisasi
pemahaman HAM ini, lagi-lagi merupakan pekejaan raksasa, dan sangat terkait
dengan penegakan profesionalisme aparat di dalam melaksanakan bidang kerjanya.
Gamangnya aparat pemerintah dalam mengurusi dan ber-urusan dengan masyarakat
yang partisipasi politik dan daya kritisnya makin meningkat ini disebabkan,
antara lain bukan semata-mata karena kurang memahami masalah HAM, akan tetapi
juga karena mereka umumnya kurang dapat melaksanakan rambu-rambu
profesionalismenya. Ini berlaku bagi aparat sipil maupun aparat keamanan.
5)
Terakhir, adalah kerjasama dengan kalangan di luar pemerintahan, terutama
kalangan Ornop/LSM, akademisi/perguruan tinggi dan kalangan masyarakat lainnya
yang memiliki kepedulian terhadap penegakan hukum dan HAM seharusnya menjadi
agenda yang terprogram dengan baik.
Bukan
saatnya bagi instansi pemerintah tertutup dengan kalangan masyarakat
sebagaimana terjadi di masa lalu. Dalam kerangka mengembangkan iklim yang lebih
demokratis, kini saatnya kalangan pemerintah, bersikap lebih terbuka kepada
masyarakat, lebih- lebih untuk keinginan bersama memajukan HAM dalam konteks
penegakan hukum.
Perlu disadari bahwa kalangan di luar
pemerintah, seperti lembaga LBH /YLBHI, sudah lama berkecimpung di bidang
penegakan HAM, sejak ketika HAM masih dipandang sebagai masalah sensitif atau
bahkan subversif secara politik. Pengalaman panjang mereka dapat dimanfaatkan
untuk penyempurnaan kebijakan pemerintah dalam penegakan HAM.
Referensi:
http://definisi-pengertian.blogspot.com/2010/05/definisi-hak-asasi-manusia-ham.html
http://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar